Palembang, bidiksumsel.com – Dunia pendidikan di Kota Palembang kembali tercoreng. Seorang guru perempuan di SMA Negeri 16 Palembang, bernama Yuli Mirza, menjadi korban dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh rekan kerjanya sendiri berinisial S.
Peristiwa ini terjadi pada jam belajar sekolah dan telah dilaporkan secara resmi ke Polsek Sako dengan nomor LP: STTLP/B/498/X/2025/SPKT/Polsek Sako/Polrestabes Palembang/Polda Sumsel.
Kasus tersebut kini sedang ditangani aparat kepolisian dan telah menarik perhatian publik, mengingat pelaku dan korban sama-sama merupakan tenaga pendidik di sekolah negeri.
Dalam laporannya, Yuli Mirza menuturkan bahwa insiden berawal dari urusan administratif biasa pengajuan berkas sertifikasi guru. Saat itu, operator sekolah meminta dirinya untuk menghadap kepala sekolah terlebih dahulu sebelum berkasnya diproses.
“Saya menolak karena merasa sudah melaksanakan tugas sesuai aturan. Dari situlah terjadi adu mulut,” ujar Yuli saat memberikan keterangan kepada polisi.
Perdebatan semakin memanas hingga S datang dan langsung melontarkan kata-kata kasar kepada Yuli. Tak berhenti di situ, S diduga langsung menampar wajah korban sebanyak dua kali, kemudian mendorong dan membenturkan kepala korban ke dinding tiga kali berturut-turut.
“S langsung menampar muka saya dua kali, mendorong, bahkan membenturkan kepala saya ke dinding sebanyak tiga kali,” ungkap Yuli Mirza dengan suara bergetar.
Akibat kekerasan tersebut, Yuli mengalami luka lecet di pipi kanan, memar di kepala bagian belakang, nyeri di telinga kiri, serta luka pada jari tangan kiri. Ia juga mengaku sempat dicekik oleh pelaku.
“Semuanya sudah saya buktikan dengan visum. Saya alami sendiri kekerasan itu di area sekolah, saat jam belajar,” tambahnya.
Yuli menduga peristiwa ini tidak semata soal sertifikasi guru, melainkan akumulasi dari konflik internal lama di lingkungan SMA Negeri 16 Palembang.
“Saya merasa memang sudah tidak disukai. Beberapa waktu lalu, saya dan sejumlah guru lain dituduh melaporkan dugaan penyimpangan ke Inspektorat dan KPK. Padahal laporan itu bukan dari kami, tapi dari masyarakat. Sejak itu hubungan kami renggang,” jelasnya.
Pernyataan Yuli ini mengindikasikan bahwa situasi di internal sekolah sudah tidak kondusif, bahkan berpotensi melibatkan unsur tekanan sosial di lingkungan kerja.
Salah seorang guru yang enggan disebutkan namanya membenarkan adanya insiden kekerasan tersebut.
“Ibu Yuli saat itu sedang menyerahkan berkas ke operator bernama Yudha. Terjadi perdebatan, dan tiba-tiba S datang, langsung marah-marah, lalu menampar Bu Yuli dua kali hingga kepala korban membentur pintu,” ungkapnya.
Melihat korban dalam keadaan luka dan berdarah di tangan, saksi tersebut segera mengantarkan Yuli ke Polsek Sako untuk membuat laporan dan menjalani visum.
“Kejadiannya sekitar pukul 11.05 WIB, tanggal 15 Oktober 2025. Kami semua kaget, karena kejadian ini berlangsung di lingkungan sekolah, saat siswa masih ada di kelas,” ujarnya.
Ia berharap pihak kepolisian segera menindaklanjuti kasus ini dengan serius, agar kekerasan di dunia pendidikan tidak menjadi hal yang dianggap biasa.
“Kami hanya ingin keadilan. Tidak seharusnya guru saling memukul, apalagi di lingkungan sekolah,” tegasnya.
Kapolsek Sako melalui Kanit Reskrim membenarkan bahwa laporan telah diterima dan kini dalam proses penyelidikan awal.
“Benar, korban sudah membuat laporan resmi. Saat ini kasus masih kami tangani, dan sedang dalam tahap pemeriksaan saksi-saksi serta pengumpulan bukti,” ujar seorang penyidik di Polsek Sako.
Polisi juga memastikan telah mengantongi hasil visum yang menunjukkan adanya luka fisik pada tubuh korban.
Pelaku S disebut-sebut akan segera dipanggil untuk dimintai keterangan, sebelum ditetapkan status hukumnya sesuai dengan hasil penyidikan.
Jika terbukti bersalah, pelaku dapat dijerat dengan Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan, dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara.
Kasus yang menimpa Yuli Mirza menambah daftar panjang kekerasan antar pendidik di lingkungan sekolah. Padahal, sekolah seharusnya menjadi tempat paling aman bagi proses belajar dan pembentukan karakter.
Pakar pendidikan dari Universitas Sriwijaya, Dr. Hadi Firmansyah, menilai bahwa kasus seperti ini mencerminkan krisis etika profesional di kalangan pendidik.
“Guru seharusnya menjadi teladan moral. Ketika konflik pribadi berubah menjadi kekerasan fisik, itu bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi juga mencederai nilai-nilai pendidikan itu sendiri,” katanya.
Hadi juga mendorong Dinas Pendidikan Sumatera Selatan untuk turun langsung melakukan mediasi dan evaluasi terhadap iklim kerja di SMA Negeri 16 Palembang.
Di akhir pernyataannya, Yuli Mirza menegaskan bahwa dirinya melapor bukan untuk mempermalukan sekolah, tetapi untuk mencari keadilan dan rasa aman di tempat kerja.
“Saya sudah puluhan tahun mengabdi sebagai guru. Saya hanya ingin dihargai dan dilindungi. Semoga kejadian seperti ini tidak dialami guru lain,” tutupnya.
Polrestabes Palembang dan Polda Sumsel juga dikabarkan memberi atensi khusus terhadap perkara ini, mengingat lokasinya berada di lingkungan pendidikan negeri.
Apabila terbukti, pelaku akan dijerat hukum pidana serta berpotensi mendapat sanksi disiplin dari Dinas Pendidikan.
Kejadian ini menjadi pengingat bahwa kekerasan, dalam bentuk apa pun, tidak memiliki tempat di dunia pendidikan. (Bd)