Bekasi, bidiksumsel.com – Menjadi siswa Sekolah Rakyat bagi Sifan Alyori (16) adalah keajaiban yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Doa tulus sang ibu yang tengah berjuang melawan kanker perut seakan menjadi jalan, hingga akhirnya ia berhasil lolos masuk Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 13 Bekasi, salah satu program pendidikan gratis yang digagas Presiden Prabowo Subianto. Sabtu, 20 September 2025.
“Katanya saya hampir tidak lolos, tapi alhamdulillah akhirnya bisa dan saya bahagia banget. Bisa lanjutkan cita-cita saya untuk sekolah lagi dan suatu hari masuk perguruan tinggi,” tutur Sifan, matanya berbinar saat ditemui di Sentra Terpadu Pangudi Luhur (STPL) Bekasi beberapa waktu lalu.
Sifan tumbuh di lingkungan sederhana di Jakasampurna, Bekasi Barat. Ayahnya meninggal ketika ia baru berusia empat bulan. Sejak saat itu, sang ibu menjadi satu-satunya penopang keluarga, meski kesehatannya terganggu oleh penyakit kanker yang ganas.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ibunya bekerja serabutan. “Kadang Ibu mencari pekerjaan dari rumah orang. Kalau ada yang butuh bantuan bersih-bersih, Ibu kerjakan. Jadi serabutan, apa saja yang ada,” cerita Sifan.
Di sela kesibukan membantu ibunya, Sifan tetap menjaga semangat belajarnya. Ia rajin membaca buku pinjaman sekolah dan aktif mencari peluang agar bisa tetap melanjutkan pendidikan.
Kesempatan itu datang melalui Sekolah Rakyat, sebuah program pendidikan gratis yang lahir dari inisiatif Presiden Prabowo Subianto melalui Kementerian Sosial. Ketika pertama kali mendengar kabar sekolah tanpa biaya, Sifan sempat tak percaya.
“Saya kaget saat dibilang sekolah ini tidak berbayar. Karena sebelumnya ada sekolah lain yang biaya masuknya besar, sementara saya dan ibu kurang mampu. Jadi hadirnya Sekolah Rakyat itu seperti jawaban doa,” katanya.
Meski ibunya sempat ragu karena terdengar terlalu indah untuk jadi kenyataan, Sifan meyakinkannya. Kini, setiap langkah yang ia tempuh di sekolah itu adalah modal untuk meraih cita-citanya : menjadi dokter bedah orthopedi.
“Kalau di luar negeri saya ingin ke Universitas Yonsei, Korea. Kalau di Indonesia mungkin UI atau UGM,” ungkapnya penuh tekad.
Sebelum lolos ke Sekolah Rakyat, Sifan sempat memikirkan untuk berhenti sekolah selama setahun dan bekerja. Ia pernah mencoba berbagai pekerjaan kecil : menjadi tukang parkir, mencuci piring, hingga menjual es. Semua dilakukan agar bisa tetap bertahan hidup dan mengumpulkan biaya pendidikan.
“Kalau tidak masuk Sekolah Rakyat, mungkin saya berhenti setahun, kerja dulu untuk kebutuhan sehari-hari,” ujarnya lirih.
Namun kini, jalan hidupnya berbeda. Dengan bangku sekolah yang kembali terbuka, Sifan percaya bahwa mimpinya bukan sekadar angan.
Di balik perjuangan pribadinya, ada doa yang selalu ia sematkan: kesehatan ibunya. “Saya ingin bisa membahagiakan Ibu dan suatu saat membawa beliau ke Tanah Suci,” katanya.
Kisah Sifan Alyori bukan hanya tentang seorang anak yang berjuang keluar dari jerat kemiskinan. Lebih dari itu, ia adalah bukti nyata bahwa pendidikan mampu menjadi jalan perubahan nasib.
Dengan target berdiri di 165 titik Sekolah Rakyat pada 2025 dan menampung lebih dari 15.000 siswa, program ini menjadi pintu harapan baru bagi anak-anak bangsa. Termasuk bagi Sifan, yang kini semakin yakin: keterbatasan bukan alasan untuk berhenti bermimpi. (rd)