Beranda Ekonomi Rahasia Museum Batik Yogyakarta : Dari Cinta Pasangan Kolektor hingga QRIS Digital!

Rahasia Museum Batik Yogyakarta : Dari Cinta Pasangan Kolektor hingga QRIS Digital!

bidiksumsel.com/dkd

Jejak Sejarah dari Pasangan Kolektor

Yogyakarta, bidiksumsel.com – Di tengah hiruk-pikuk Yogyakarta yang kian modern, berdiri sebuah bangunan sederhana di Jalan Dr. Sutomo, Kampung Bausasran, Kecamatan Danurejan. Bangunan itu adalah Museum Batik Yogyakarta, ruang yang seakan menghentikan waktu dengan menyimpan ribuan kain sarat makna.

Tak banyak yang tahu, museum ini bukanlah proyek besar pemerintah. Ia lahir dari dedikasi sepasang kolektor, Hadi Nugroho dan Dewi Sukaningsih, yang sejak kecil tumbuh di lingkungan keluarga pembatik. Sejak awal 1970-an, keduanya mulai mengumpulkan kain batik kuno dari berbagai daerah. Butuh hampir satu dekade hingga akhirnya, pada 12 Mei 1979, museum ini resmi dibuka oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DIY.

“Museum Batik ini adalah tanda cinta dari Hadinugroho dan Dewi Sukaningsih. Dulu, tempat ini merupakan pabrik batik yang mengelola pembuatan sekaligus penjualannya,” ungkap Didik Wibowo, Wakil Pengelola Museum Batik Yogyakarta, dalam kegiatan Capacity Building Wartawan bersama Bank Indonesia Sumsel, 25–27 September 2025.

Dulu, museum ini memiliki lebih dari 2.700 koleksi batik. Kini, setelah kurasi, hanya sekitar 1.000 lembar pilihan yang dipamerkan. Ragam koleksi ini mencakup :

  • Batik klasik Jawa, dengan warna natural seperti cokelat soga dan biru nila, penuh makna filosofis, bahkan sebagian hanya boleh dipakai kalangan keraton.
  • Batik Peranakan, hasil akulturasi Jawa dan Tionghoa, dengan motif cerah seperti bunga, burung phoenix, dan naga.
  • Batik kuno abad ke-18, berasal dari Solo, Pekalongan, Demak, Cirebon, hingga Yogyakarta.

“Batik autentik harus menggunakan lilin lebah alami. Motifnya akan tampak sama pada kedua sisi kain. Inilah ciri batik tulis sejati, berbeda dengan batik printing,” jelas Didik.

Tak hanya menjaga tradisi, Museum Batik Yogyakarta juga membuktikan bahwa batik bisa bertransformasi mengikuti zaman. Di era digital, museum ini menjadi contoh bagaimana budaya dan teknologi bisa berpadu.

UMKM batik di Yogyakarta kini memanfaatkan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dalam transaksi. “Setiap pengunjung bisa belajar filosofi batik sekaligus membeli produk dari pengrajin. Dengan adanya QRIS, pembayaran jadi lebih mudah, bahkan bagi wisatawan mancanegara,” ujar Didik.

Hampir 100 persen transaksi di museum ini kini menggunakan QRIS, hanya segelintir yang masih tunai. Bahkan, sistem digital ini memperluas pasar batik lewat penjualan daring. “Dengan adanya marketplace digital, penjualan semakin lancar karena pembayaran bisa langsung dengan QRIS, mempermudah pembeli dari luar daerah,” tambahnya.

Di tengah gempuran batik printing yang lebih murah, para perajin batik tulis tetap optimis. Mereka yakin, kekuatan batik tradisional terletak pada keaslian motif, nilai seni, dan filosofi di baliknya. Kini, dengan dukungan teknologi, pengalaman membeli batik semakin lengkap : belajar teknik membatik, menyaksikan koleksi bersejarah, membeli produk langsung dari pengrajin, hingga bertransaksi tanpa uang tunai.

“Batik, dengan demikian, tidak hanya bertahan sebagai warisan budaya, tetapi juga berkembang menjadi gaya hidup modern yang selaras dengan teknologi,” pungkas Didik. (dkd)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here