Mengusut Akar Sengketa Pilkada Sumsel 2024 : Di Balik Gugatan Eddy Santana, Ada Apa dengan Bawaslu?
Palembang, bidiksumsel.com – Persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palembang pada Rabu, 30 April 2025, menyimpan aroma sengketa yang jauh lebih kompleks dari sekadar gugatan administrasi. Di hadapan majelis hakim, kuasa hukum Eddy Santana Putra, calon perseorangan dalam Pilkada Gubernur Sumatera Selatan 2024, menaburkan bom isu : dugaan pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM), intimidasi terhadap pelapor, hingga ketidaknetralan hakim.
Gugatan ini bukan hanya soal prosedur. Ini tentang kepercayaan publik terhadap lembaga pengawas pemilu yang kini sedang dipertanyakan. Bawaslu Provinsi Sumatera Selatan digugat karena diduga tidak menjalankan fungsinya secara profesional dan independen, bahkan dituding terlibat dalam praktik pembiaran terhadap pelanggaran berat yang mencoreng integritas demokrasi.
9 Saksi di Bawah Sumpah, Fakta Pelanggaran Terungkap
Dalam persidangan terbaru, kuasa hukum Eddy Santana, Nikosa Yamin Bachtiar, menghadirkan sembilan saksi. Di bawah sumpah, mereka membeberkan berbagai bentuk pelanggaran, termasuk praktik pembagian sembako dan uang oleh pasangan calon tertentu, sebuah dugaan kuat politik uang yang dilakukan secara terstruktur.
Nikosa menegaskan bahwa ini bukan sekadar opini, melainkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, dan memiliki bobot kuat untuk menjadi bahan pertimbangan hakim.
“Kami tidak sedang bermain-main. Yang kami ungkap adalah bentuk nyata dari pelanggaran pemilu yang dibiarkan. Mirisnya, saksi dan pelapor justru mendapat intimidasi,” ujar Nikosa.
Sorotan Tajam ke Hakim Ketua Majelis
Ketegangan semakin memuncak ketika pihak penggugat mengajukan permohonan penggantian ketua majelis hakim. Dalam catatan permohonan, terdapat lima poin yang menuding hakim tidak netral :
- Hakim meminta penggugat mencabut gugatan.
- Hakim menyatakan bahwa jika kuasa hukum menolak, itu berarti “pasang badan” sebuah pernyataan yang dianggap intimidatif.
- Hakim meminta objek gugatan dikurangi dari 4 menjadi 1.
- Hakim secara sepihak mengundang HDCU sebagai tergugat II intervensi.
- Hakim yang sama juga menangani perkara No. 8 dan No. 14, serta menyarankan agar salah satu gugatan dicabut.
Perkara No. 8 mengungkap dugaan perbuatan melawan hukum oleh Bawaslu, termasuk penolakan laporan TSM dan penggunaan tanda terima laporan dengan model yang keliru. Perkara No. 14 menjadi sorotan karena menghadirkan 6 wartawan sebagai saksi fakta, untuk pertama kalinya dalam sejarah sengketa Pilkada di Sumsel.
Eddy Santana : Ini Bukan Soal Kalah, Tapi Soal Demokrasi
Di luar ruang sidang, Eddy Santana Putra menyuarakan kekecewaannya atas proses demokrasi yang menurutnya telah tercemar. Ia menyoroti pembiaran terhadap politik uang dan pembagian sembako yang dilakukan oleh paslon nomor urut 01.
“Kami ingin demokrasi yang jujur dan adil. Kalau hari ini praktik kotor dibiarkan, maka lima tahun ke depan kita bisa dipimpin oleh hasil dari transaksi, bukan dari aspirasi,” ujar Eddy dengan nada tegas.
Ia juga berharap majelis hakim bisa objektif dan tidak memihak, terutama setelah fakta-fakta yang kuat disampaikan dalam persidangan.
Kasus ini bisa menjadi preseden besar dalam sejarah Pilkada Sumsel, sekaligus ujian bagi lembaga peradilan dan penyelenggara pemilu. Gugatan ini menyoroti tidak hanya pelanggaran prosedur, tetapi juga kebobrokan sistemik yang dikhawatirkan menodai masa depan demokrasi lokal.
Publik kini menanti : apakah PTUN Palembang akan berdiri di sisi keadilan atau terseret dalam pusaran dugaan intervensi kekuasaan? Apa pun putusannya, sidang ini telah membuka lembaran baru soal keberanian menggugat sistem yang dianggap cacat. (dkd)