JAKARTA – Pemerintah Indonesia mengakui kedutaan besar RI di Yangon menjadi sasaran demonstrasi masyarakat Myanmar pada Selasa.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Teuku Faizasyah mengatakan demonstrasi itu terjadi karena kesalahpahaman dari pemberitaan Reuters yang menyebut Indonesia mengumpulkan dukungan negara ASEAN agar militer Myanmar menggelar pemilu ulang.
Faizasyah menegaskan, sikap Indonesia sejak awal tidak berubah dan membantah hal tersebut. “Itu bukan posisi Indonesia karena yang ingin kita garis bawahi adalah bagaimana kita mencari satu penyelesaian damai di Myanmar yang bersifat satu proses politik yang inklusif yang melibatkan semua pihak,” jelas Faizasyah dalam konferensi pers virtual pada Selasa (23/2).
Dia menegaskan saat ini Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi tengah mengumpulkan usulan dan solusi dari negara-negara ASEAN dalam menyelesaikan permasalahan di Myanmar dan membahasnya dalam pertemuan khusus. “Untuk itu Ibu Menlu melakukan perjalanan keliling berkonsultasi ke para mitranya Menlu negara ASEAN,” jelas dia.
Sementara itu, Duta Besar Indonesia untuk Myanmar Iza Fadri mengatakan aksi demonstrasi terjadi di depan KBRI dan diperkirakan mencapai sekitar 500 orang. Namun, kata dia, hingga sore para demonstran pulang setelah mendapatkan penjelasan mengenai sikap Indonesia.
“Kita sampaikan kepada demonstran dan mereka mengerti dan mengucapkan terima kasih, kondisi sejauh ini aman,” jelas Iza Fadri kepada Anadolu Agency melalui pesan singkat pada Selasa.
Sebelumnya, sumber anonim Reuters menyebut Indonesia saat ini tengah menggalang dukungan dari negara-negara ASEAN untuk menyetujui rencana militer Myanmar menggelar pemilu ulang.
Menurut sumber yang merupakan pejabat Indonesia mengatakan, langkah itu dilakukan untuk menghindari adanya aksi kekerasan dari pihak militer yang berpotensi menyebabkan korban.
Rencana ini tentunya bertentangan dengan permintaan para demonstran Myanmar dan sejumlah negara barat yang menginginkan militer Myanmar mengakui pemilu yang digelar pada November 2020 lalu.
Pada awal Februari lalu, Militer Myanmar memberlakukan kondisi darurat selama setahun, sejak penangkapan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi beserta sederet tokoh partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Alasan pengambilalihan kekuasaan karena militer menilai kegagalan pemerintah untuk bertindak atas “kecurangan pemilu” November lalu, sekaligus kegagalan menunda pemilihan karena pandemi Covid-19. (Aza/AA)