Palembang – Terkait belum rampungnya audit Investigative Perkara dugaan Mega korupsi penjualan Gas bagian negara di Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) yang saat ini sedang di audit BPK RI. Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Palembang meminta agar BPK RI segera dapat menyelesaikan audit investigativenya karena telah hampir setahun perhitungan audit tak kunjung selesai. Rabu, (02/9)
“sudah hampir setahun perhitungan audit yang dilakukan BPK RI belum selesai jadi kami (MAKI) meminta agar BPK RI segera menyelesaikan audit investigativenya,“ ujar Koordinator MAKI Palembang Bony Balitong ketika dimintai pendapat
Dirinya menilai, perjanjian kerjasama antara PDPDE Sumsel dan PT. DKLN sangat membingungkan. Pasalnya persentase saham PDPDE Sumsel hanya 15%” serta sudah mendapat bagian saham kecil dan di beri kewajiban membayar saham yang di anggap hutang, sangat tidak masuk akal sehat.
“Bila di hitung secara kasar selisih harga pembelian dan penjualan gas bagian negara maka keuntungan kotor yg di dapat mendekati Rp. 1 Trilyun tapi PDPDE cuma mendapatkan bagian keuntungan kurang lebih Rp. 30 milyar dan di beri kewajiban membayar gaji pengurus perusahaan yg berasal dari mitra kerjasama,” jelasnya
Sementara, BPK RI selaku auditor negara melakukan audit investigative atau audit dengan tujuan tertentu untuk menghitung potensi kerugian negara. BPK RI selaku kantor akuntan negara tidak punya kewenangan untuk memanggil saksi terkait proses audit tertentu dalam hal ini audit investigative. Oleh karena itu pemanggilan saksi terkait, dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum yang telah meminta audit Kerugian Negara kepada BPK RI.
Saat dikonfirmasi kemarin (01/9), Kasipenkum Kejati Sumsel, Khaidirman SH MH menyampaikan bahwa hingga saat ini tim penyidik Kejati Sumsel yang bekerjasama dengan BPK RI masih berupaya mengungkap kasus dugaan korupsi ratusan Milyar tersebut. salah satunya dengan memanggil saksi untuk dimintai klarifikasi.
“Tim penyidik memanggil beberapa saksi untuk didengar dan diperiksa serta dimintai keterangan oleh BPK RI diantaranya memanggil Caca Isa Saleh selaku mantan Dirut PDPDE gas ke gedung arsip lantai 7 kantor BPK RI berdasarkan surat perintah pemanggilan bernomor SPS-636/L.6.5/Fd.1/8/2020, serta saksi lainnya yakni Ivo Wankaren selaku Direktur PT. Mulya Tara Mandiri, rencana dijadwalkan pemanggilannya oleh BPK tanggal (8/9/2020) mendatang,“ paparnya
Lanjutnya, Tim Penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Sumsel pada tanggal 24 Juni 2020 lalu mendatangi kantor pusat BPK RI di Jakarta untuk mempertanyakan hasil audit Kerugian Negara pada perkara dugaan korupsi ini. Karena penyidik Kejati Sumsel mengajukan permohonan audit pada bulan September 2019 Silam yang di tanda tangani Kasi Pidsus Kejati Sumsel “Hendriyanto SH MH”.
“BPK RI hingga Juni 2020 belum juga selesai melakukan audit KN padahal sudah mendekati 1 (satu) tahun. Sehingga perkara dugaan korupsi jual beli gas Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) belum ada perkembangan signifikan atau terkesan mandeg di tengah jalan,“ katanya
Untuk diketahui, Perkara dugaan Mega korupsi ini berawal dari perjanjian pembelian gas bagian negara oleh Pemprov Sumsel kepada KKS Pertamina Hulu Energi (PHE), Talisman dan Pacific Oil. Perjanjian ini berdasarkan peraturan perundangan dimana kewajiban KKS Jambi Merang memberikan Participacing Interest (PI) kepada Pemprov Sumsel.
Participacing Interest (PI) ini dengan kontribusi yaitu, PHE 50%, Talisman 25% dan Pacific Oil 25%. Bentuk PI yang di berikan oleh KKS Jambi Merang adalah hak membeli gas bagian negara dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Sumatera Selatan.
Berkeinginan untuk mendapatkan keuntungan besar, dalam rangka meningkatkan PAD Provinsi Sumsel. Justru yg terjadi malah sebaliknya. Keuntungan terbesar di dapatkan oleh mitra kerjasama PDPDE Sumsel.
Hal ini terjadi karena pembagian saham perusahaan patungan yang dibuat sebagai bentuk kerjasama tidak berimbang. Pemprov Sumsel yang di wakili PDPDE hanya mendapat 15% saham perusahaan patungan sementara Mitra Kerjasama yaitu PT DKLN mendapatkan 85% saham.
Lebih buruk lagi nasib PDPDE selaku pemilik hak membeli gas bagian negara, saham 15% di anggap hutang kepada PT DKLN. Dari keuntungan kotor yg di dapat pada kisaran US$ 2,5 per MMBTU pada penjualan gas bagian negara kepada pihak ketiga, PDPDE hanya mendapat US$ 0,1 per MMBTU dalam bentuk fee penjualan.
Selama masa perjanjian 9 tahun kerjasama, PDPDE mendapatkan fee penjualan Rp. 38 milyar dan mempunyai kewajiban membayar hutang saham Rp. 8,05 milyar kepada PT DKLN. Sementara itu mitra Kerjasama yaitu PT DKLN patut diduga mendapatkan bagian keuntungan bersih kurang lebih US$ 2 per MMBTU.
Perjanjian kerjasama itu juga mewajibkan PDPDE Sumsel menerima orang–orang mitra kerjasama menjadi pengurus perusahaan. “YH” selaku pemegang saham PT DKLN menjadi Dirut PDPDE dan “I” karyawan PT DKLN menjadi Manager di PDPDE dan keduanya di gaji oleh PDPDE. (yud/tim)