JAKARTA – Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, meningkatkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) merupakan penyimpangan demokrasi. Peningkatan ambang batas dinilai tak lagi mementingkan kebebasan masyarakat dalam memilih.
“Semakin menaikkan ambang batas, konsekuensinya mendistorsi derajat kedaulatan rakyat,” ujar Titi dalam acara peluncuran buku Evaluasi Pemilu Serentak 2019 di D’Hotel, Minggu (2/2/2020).
Titi tak menampik jumlah partai politik di parlemen cukup gemuk. Kendati, menaikkan ambang batas parlemen tidak bisa dijadikan sebagai solusi untuk menyederhanakan parpol.
Terlebih, pemberlakuan ambang batas parlemen hingga saat ini tidak membuktikan penyederhanaan parpol terealisasi. Ketimbang terus meningkatkan nilai ambang batas, Titi mengusulkan perolehan jumlah kursi diperkecil.
“Jadi Perludem itu cukup keras. Ini (menaikan nilai ambang batas) bukan pilihan,” kata Titi menegaskan.
Di tataran parpol, nilai ambang batas parlemen masih menuai pro dan kontra. PDIP dalam rapat kerja nasional mengusulkan untuk merevisi UU Pemilu, yakni mengubah pemilu dengan menggunakan sistem proporsional tertutup.
Selain itu, PDIP juga mengusulkan ambang batas parlemen menjadi paling kurang lima persen untuk DPR dan berjenjang ke tingkat di bawahnya (5% DPR RI, 4% DPRD Provinsi dan 3% DPRD Kabupaten/Kota).
Sistem proporsional tertutup hanya memberikan pemilih opsi coblos lambang partai tanpa calon legislatif. Sistem ini terakhir digunakan pada tahun 2004. Namun usulan partai penguasa saat ini ditentang oleh Hanura. (imn)
>